Rahmat Kemat
Insiden penangkapan 65 anak
punk di Banda Aceh beberapa waktu lalu telah menjadi isu seksi yang ramai
diperbincangkan oleh media massa dan elektronik. Insiden tersebut telah menuai
protes dari pelbagai kalangan, baik dalam maupun luar negeri. Bahkan, band punk
rock asal Amerika, Rancid, turut memprotes kebijakan itu melalui akun Twitter
resminya. “We hate what's going on with our punk brothers and sisters in
Indonesia. Rancid's got your back!,” tulis akun Twitter Rancid sebagaimana
dikutip Okezone, Sabtu (17/12/2011). Pihak-pihak yang melontarkan protes
ini pada umumnya menyatakan bahwa ‘tindakan kekerasan’ dan ‘perlakuan
diskriminatif’ pemerintah Aceh terhadap anak-anak punk tersebut telah
mencederai prinsip-prinsip kebebasan berekspresi dan hak asasi manusia (HAM).
Menurut reportase beberapa
media, anak-anak punk tersebut dirazia ketika menghadiri konser musik punk yang
bertajuk “Aceh For The Punk, Parade Musik dan Penggalangan Dana Untuk Panti
Asuhan” di Taman Budaya, Banda Aceh, Sabtu malam (10/12/2011). Menyimak tema
acaranya, anak-anak punk ini nampaknya hendak menunjukkan bahwa punk
sesungguhnya memiliki kepedulian terhadap masalah sosial. Ironisnya, pemerintah
Banda Aceh justru menganggap mereka sebagai sumber masalah sosial itu sendiri.
Di mata pemerintah Aceh, kehadiran anak punk dengan gaya rambut Mohawks,
bertato dan bercelana jeans ketat dan berantai itu bertentangan dengan
norma-norma Islam dan mencemarkan citra Aceh yang selama ini konsisten menerapkan
syariah Islam.
Punk-Islamisme: Dari Aceh
ke Palestina
Di Jakarta, komunitas
anak-anak punk yang mengidentifikasi diri sebagai “Punk Muslim” justeru
menyuguhkan gambaran yang kontras dengan peristiwa yang terjadi di Aceh. Pada
Jum’at 16 Desember 2011 lalu, mereka menggelar aksi demonstrasi di Bunderan HI
dalam rangka memperingati hari intifadah dan perjuangan moral mendukung
pembebasan rakyat Palestina bertajuk “Punk Muslim Action for Palestine”. Jika
di Aceh punk dianggap sebagai polusi Islam yang harus dibersihkan dari
pelataran Serambi Mekah, di Jakarta punk justeru menampilkan diri sebagai
pembela Islam garda depan yang memperjuangkan hak-hak dan kebebasan Muslim
Palestina dengan mengusung spirit pan-islamisme yang kuat. Sayangnya, fenomena
unik ini cenderung luput dari pemberitaan media nasional maupun internasional.
Punk Muslim adalah sebuah
komunitas, gerakan sekaligus kelompok musik yang berikhtiar melakukan proyek
restorasi keimanan dan kesalehan di lingkungan subkultur punk urban yang selama
ini identik dengan gaya hidup permisif, hedonistik, bohemian dan anarkis.
Berbeda dengan subkultur punk pada umumnya yang kerap mengartikulasikan slogan
anti-agama, Punk Muslim justeru menggunakan musik punk sebagai alat untuk
memperkuat identitas keislaman mereka. Bahkan, melalui musik punk, anak-anak
punk yang tergabung dalam komunitas Punk Muslim mengalami apa yang dapat
disebut sebagai proses “kelahiran kembali sebagai Muslim” (born again as
Muslim). Lompatan keimanan ini pada muaranya telah mentransformasi ritme
kehidupan sosial mereka ke arah yang lebih positif.
Para punkers yang berhimpun
dalam komunitas Punk Muslim kerap mengisi waktu-waktu luang untuk belajar
mendalami Islam dengan cara mengadakan pengajian rutin dan diskusi berkala,
menggulirkan program-program pemberdayaan ekonomi untuk memupuk kemandirian
hidup, dan merilis sejumlah album musik punk sebagai wahana untuk
mendiseminasikan nilai-nilai Islam. Dengan demikian, komunitas Punk Muslim
telah mengintrodusir pendekatan yang lebih humanis jika dibandingkan dengan
kebijakan reaksioner pemerintah Aceh terhadap sejumlah anak-anak punk beberapa
waktu yang lalu. Jika pemerintah Aceh menerjemahkan “kepanikan moral” (moral
panic) yang mereka alami dengan cara menerapkan pendekatan formalistik-militeristik
terhadap anak-anak punk, komunitas Punk Muslim justeru menggunakan pendekatan
kultural untuk mentransformasi identitas punk ke arah yang lebih islami.
Melalui cara ini, mereka hendak mendemonstrasikan bahwa menjadi Muslim dan
punker pada saat bersamaan adalah sesuatu yang mungkin.
Repertoar kultural yang
disajikan oleh komunitas Punk Muslim ini pada dasarnya merepresentasikan
ikhtiar sejumlah anak muda Muslim Indonesia untuk menegosiasikan elemen-elemen
Islam dan modernitas dalam proses-proses kultural dunia global yang ditandai
oleh arus pergerakan disjungtif yang kompleks, tumpang tindih dan
serba tidak pasti (Arjun Appadurai, 1996: 33-37). Proses negosiasi tersebut
dilakukan dengan cara mengadaptasi praktik-praktik budaya populer global, namun
pada saat bersamaan diorientasikan untuk mendorong anak-anak punk agar hidup
sesuai dengan syariah Islam. Di satu sisi, simbol-simbol Islam yang
diartikulasikan oleh Punk Muslim mencerminkan suatu ikhtiar untuk melestarikan
keyakinan, nilai dan identitas Islam ortodoks, namun di sisi lain,
bentuk-bentuk dan praktik-praktik yang ditampilkan jelas-jelas bertautan erat
dengan trend-trend dan ikon-ikon budaya anak muda global (global youth
culture). Dengan demikian, komunitas ini sesungguhnya sedang melakukan gerakan
kontra-kultur dengan cara meminjam citra dan praktik yang berkembang dalam
budaya populer global dan kemudian memberikan makna baru untuk menolak ide-ide
dan nilai-nilai dominan dalam budaya tersebut yang dianggap bertentangan dengan
ide-ide dan nilai-nilai Islam ortodoks (Dick Hebdige, 1979: 3).
Puritanisme dan Liberalisme
Islam
Punk Muslim bukanlah
satu-satunya subkultur Islam urban yang menggunakan pendekatan kultural dalam
rangka mempertahankan nilai-nilai dan identitas Islam ortodoks di tengah
gempuran budaya global. Selain Punk Muslim, terdapat komunitas lain yang
melakukan upaya modifikasi dan naturalisasi bentuk-bentuk dan praktik-praktik
budaya populer global sebagai alat untuk mengkonstruksi dan merefleksikan sudut
pandang keagamaan mereka – seperti komunitas Underground Tawheed, Salam Satu
Jari (One Finger Underground Movement), Ghurabaa (Militant Tauhid) dan
sebagainya. Subkultur Islam urban ini pada umumnya mengartikulasikan model
pemahaman keislaman yang dalam banyak hal memiliki paralelitas dengan
konstruksi wacana keislaman yang disodorkan oleh beberapa institusi Islam yang
di mata kalangan Islam liberal kerap diidentifikasi sebagai kelompok ‘puritan’
dan ‘konservatif’.
Oleh karena itu, meskipun
subkultur Islam urban ini seringkali memekikkan slogan anti-kapitalisme,
anti-penindasan dan anti-kemapanan seperti subkultur punk atau komunitas
underground pada umumnya, namun pada saat bersamaan mereka juga mengumandangkan
slogan anti-sekularisme, anti-liberalisme dan anti-pluralisme. Pada level ini,
subkultur Islam urban memosisikan diri secara diametral dengan beberapa
eksponen Islam liberal yang justeru mempromosikan sekularisme, liberalisme dan
pluralisme sebagai pilar-pilar penting dalam wacana dan praksis demokrasi.
Ironisnya, pendekatan kultural yang selama ini didakwahkan oleh para proponen
Islam liberal justeru telah digunakan oleh mereka dalam skala dan cakupan yang
cukup luas. Fakta ini tercermin dalam kemampuan mereka untuk mengakomodasi dan
mengapropriasi praktik-praktik budaya populer dan melakukan penetrasi ideologi
ke dalam situs-situs budaya populer sebagai wahana untuk mengkonstruksi dan
mendiseminasikan satu varian penafsiran atas Islam dalam medan pertempuran
makna Islam di ceruk pasar Islam Indonesia kontemporer.
Kendati demikian,
pendekatan kultural yang dirilis oleh subkultur Islam urban ini dalam banyak
kasus lebih diorientasikan untuk memuluskan proyek islamisasi kebudayaan dan
cenderung kurang memberikan ruang bagi proses indigenisasi Islam dan budaya
global. Kegagalan untuk merangkul matriks indigenisasi dalam ekspresi kesenian
subkultur Islam urban ini barangkali terjadi lantaran model pemahaman keagamaan
yang kurang berakar kuat pada tradisi Islam (turâts) di satu sisi dan
sebagai konsekuensi dari proses deprivasi pengetahuan keagamaan dalam sistem
pendidikan Indonesia di sisi lain. Komunitas-komunitas subkultur Islam urban
ini sesungguhnya bergerak di luar radius khazanah keislaman tradisional, namun
pada saat bersamaan dibebani oleh hasrat yang kuat pada simbol-simbol dan
idiom-idiom Islam sebagai jaring pengaman keimanan dan kesalehan dalam arus
perlintasan budaya global.
Meskipun demikian, politik
wacana yang selama ini menjadi trendsetter para penyokong Islam liberal
nampaknya perlu berkaca pada politik budaya subkultur Islam urban ini. Wacana
dan perbincangan Islam liberal selama ini terkesan begitu dibebani oleh
prasangka-prasangka ideologis, ditandai oleh penekanan berlebihan pada
hermeneutika tekstual ketimbang hermeneutika sosial, dan disibukkan oleh hasrat
yang kuat untuk mencetuskan produk-produk pemikiran elitis yang cenderung
kurang berjangkar erat pada realitas keseharian masyarakat Muslim Indonesia (Islam
in everyday life). Oleh karena itu, mereka seolah kurang akrab (lack of
familiarity) dengan pola-pola kebudayaan baru dan cenderung mengabaikan
arus-arus perkembangan kesenian urban yang justru menjadi lokus artikulasi kaum
muda Islam urban yang mengalami marginalisasi dan kekecewaan terhadap gempuran
konsumerisme.
Padahal, keberhasilan
proyek moderasi Islam di Indonesia pada masa lalu justeru dimungkinkan melalui
pintu-pintu kesenian dan proses negosiasi kultural yang panjang antara Islam
dan elemen-elemen kebudayaan Nusantara. Di negeri kepulauan ini, musik
telah menjadi salah satu barometer penting dari proses dinamis antara
islamisasi indonesia dan indigenisasi Islam yang merambat secara
berkesinambungan. Proses indigeniasi Islam melalui ekspresi estetik
ini memiuh dari sengketa institusional hitam putih dunia politik, terutama
politik yang dipahami sebagai arena pertarungan kekuasaan. Musik
tak hanya berhenti sebagai hiburan dan kesenangan sesaat, lebih jauh,
dalam kenyataannya, seringkali berfungsi sebagai instrumen penting dalam
‘perebutan makna baru’ yang memiliki kelenturan dalam menyerap kekayaan budaya
dan dalam jangka panjang menjadi benteng pertahanan dari kategori luas yang
disebut sebagai politik kebudayaan.
Komentar
Posting Komentar