Langsung ke konten utama

MEHTERHANE: A MILITARY BAND OF OTTOMAN EMPIRE


Oleh: Rahmat Kemat
“Mehterhane” adalah band militer (military band) pertama di dunia yang didirikan oleh khalifah Utsmani, Osman I, pada tahun 1299. Band militer ini berakar dari tradisi “mehter” warisan dinasti Seljuk. Menurut sejarah, Sultan Seljuk, Alaeddin Keykubad III, mengirimkan mehter kepada Osman I sebagai hadiah untuk menghormati negara (Kerajaan Utsmani) yang baru terbentukAlaeddin Keykubad III mengerahkan kelompok pemain drum dalam rangka memaklumatkan peresmian Pemerintahan Utsmani (beylic). Pada masa Utsmani, prajurit Janissary—Kopassus Turki Utsmanimengadaptasi tradisi mehter dan menginkorporasikannya ke dalam band militer (mehterhane). Band ini biasanya terdiri dari enam sampai sembilan anggota yang membawa pelbagai instrumen musik seperti drum, zurna, klarinet, triangel, piringan (zil), kettledrums (kös dan naqqara) di atas punggung unta. Mehterhane selalu diikutsertakan dalam setiap ekspedisi atau peperangan untuk menstimulasi semangat pasukan Jenissary.
Mehterhane merupakan prototype marching band militer (military marching band) di seluruh dunia. Sejarah menyebutkan bahwa tradisi band milter Turki Utsmani ini menyebar ke Eropa melalui beberapa jalur, antara lain perdagangan, turisme dan terutama peperangan. Kekalahan Kopassus Jenissary di gerbang Wina pada tahun 1683 pada saat bersamaan telah meninggalkan instrumen-instrumen musik mereka yang kemudian diambil sebagai harta rampasan perang oleh tentara Eropa. Peristiwa ini sekaligus merupakan starting point kemunculan band-band militer Eropa pada masa-masa berikutnya. Sejak abad ke-18, penggunaan band militer semacam ini mulai meluas secara dramatis di Eropa. Di bawan Napoleon Bonaparte, pasukan tentara Prancis mulai diiringi oleh band militer yang dilengkapi dengan instrumen-instrumen musik perang Turki Utsmani seperti zil (simbal) dan ketteldrums (genderang perang). Napoleon bahkan menggunakan band militer dengan mengadaptasi pendekatan pasukan Jenissary Turki Utsmani. Menurut hikayat, kemenangan Napoleon atas tentara gabungan Austria dan Rusia dalam pertempuran Austerlitz (1805) sebagian disebabkan oleh efek psikologis dari kebisingan pawai band militer (fanfares) pasukan tentara Napoleon.
Musik band militer Janissary (mehterhane) juga telah menorehkan pengaruh besar terhadap karya-karya sejumlah komponis Eropa terkemuka, antara lain “The Pilgrim of the Mecca” dan “Ifigenia in Táuride” karya Gluck; “March of the Janissaries” from “The Abduction in the Serrallo” dan “Patrolled alla Turkish” from “The Sonata for Piano in the Greater K. 331” karya Mozart; “Zaïre”, “Goes Turkish” dan “Military Symphony” karya Haydn; dan “Turkish March” from “The Ruins of Athens” dan “The Finale of the Ninth Symphony” karya Beethoven.
Sources:  
Rabah Saoud, The Arab Contribution to Music of the Western World, Manchester: Foundation for Science Technology and Civilisation, 2004.
Thomas Thornton, Jr., The Present State of Turkey, Volume 1, General Books LLC, 2009.
http://www.theottomans.org/english/campaigns_army/mehter.asp.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

TRADISI KESENIAN ISLAM NUSANTARA: LEGASI DAN KONTEKSTUALISASI

Rahmat Kemat Dalam cakrawala kebudayaan Islam Indonesia kontemporer, kecenderungan untuk memanifestasikan kebudayaan Islam dalam lokus kehidupan kebangsaaan terpolarisasi ke dalam dua mainstream . Pertama , kecenderungan untuk memaksakan formalisasi ajaran Islam dalam seluruh manifestasi kebudayaan bangsa. Kedua , kecenderungan untuk menepis formalisasi ajaran Islam dalam seluruh manifestasi kebudayaan bangsa. Kedua kecenderungan tersebut pada gilirannya akan menorehkan implikasi yang sangat berbeda terhadap wajah kebudayaan Islam Indonesia. Di sisi lain, pemahaman terhadap kebudayaan Islam Indonesia ditandai oleh suatu fenomena yang perlu mendapat perhatian serius dari segenap kalangan. Pertama , menyusutnya memori kolektif masyarakat terhadap khazanah kebudayaaan Islam Nusantara. Kedua , merosotnya pemahaman konseptual tentang seni Islam di kalangan luas masyarakat. Ketiga , ketidakpedulian masyarakat terhadap signifikansi dan peranan seni d...

PUNK-ISLAMISME DAN POLITIK IDENTITAS

Rahmat Kemat   Insiden penangkapan 65 anak punk di Banda Aceh beberapa waktu lalu telah menjadi isu seksi yang ramai diperbincangkan oleh media massa dan elektronik. Insiden tersebut telah menuai protes dari pelbagai kalangan, baik dalam maupun luar negeri. Bahkan, band punk rock asal Amerika, Rancid, turut memprotes kebijakan itu melalui akun Twitter resminya. “ We hate what's going on with our punk brothers and sisters in Indonesia. Rancid's got your back! ,” tulis akun Twitter Rancid sebagaimana dikutip Okezone , Sabtu (17/12/2011). Pihak-pihak yang melontarkan protes ini pada umumnya menyatakan bahwa ‘tindakan kekerasan’ dan ‘perlakuan diskriminatif’ pemerintah Aceh terhadap anak-anak punk tersebut telah mencederai prinsip-prinsip kebebasan berekspresi dan hak asasi manusia (HAM). Menurut reportase beberapa media, anak-anak punk tersebut dirazia ketika menghadiri konser musik punk yang bertajuk “Aceh For The Punk, Parade Musik dan ...