Langsung ke konten utama

MUSIK ARAB DALAM CAKRAWALA PERADABAN ISLAM

Rahmat Kemat
Secara historis, bangsa Arab telah memiliki tradisi musik tersendiri pada masa pra-Islam. Meskipun demikian, tidak dapat dinafikan bahwa teori dan praktik musik Arab baru mencapai puncak perkembangannya setelah agama Islam mengepakkan sayapnya ke seluruh wilayah territorial yang lazim disebut sebagai belahan bumi “Oriental”, bahkan sampai ke semenajung Iberia dan Andalusia.
Pada abad pertama Hijriyah, musik Arab menampilkan diri dalam bentuk yang masih sederhana. Tetapi pada masa pemerintahan Umayyah di Damaskus, abad ke-2 H, perkembangan musik mengalami kemajuan. Madinah, sebagai salah satu pusat kebudayaan Islam kala itu, tampil sebagai pusat kegiatan seni musik di Dunia Arab. Perkembangan yang mengagumkan itu dimungkinkan setelah orang Arab mempelajari seni musik Persia dan Yunani. Perkembangan seni musik mencapai puncaknya pada zaman Abbasiyah (650-1256 M). Ibu kota kekhalifahan Abbasiyah, Baghdad, ketika itu tampil sebagai pusat kebudayaan Islam dan peradaban dunia. Pada masa inilah bermuncuan sejumlah musisi dan teoretikus musik yang banyak memberikan kontribusi terhadap perkembangan musik Arab.
Tidak lama setelah Islam meluas ke seluruh wilayah Oriental, bangsa Arab, dengan bertolak dari nilai-nilai budaya Yunani, mengembangkan seni dan ilmu pengetahuan sedemikian rupa, sehingga bangsa Arab ketika itu dapat dianggap sebagai bangsa yang paling beradab di dunia. Di zaman kekuasaan Harun al-Rasyid (768-809 M) kota Baghdad menjadi pusat kebudayaan Islam. Sekitar tahun 800 M, Harun al-Rasyid menugaskan tiga ratus ilmuan untuk mengumpulkan naskah-naskah ilmiah Yunani. Kemudian setelah itu, al-Makmun, putra Harun al-Rasyid, mendirikan “Bait al-Hikmah” serta menugaskan para ilmuan dan seniman terkenal untuk menerjemahkan karya-karya Yunani ke dalam bahasa Arab.
Dalam bidang musik, menurut Farmer, beberapa tulisan dari tokoh-tokoh Yunani seperti Aristoxenos, Euklid, Ptolomeus, Nikomachus, dan Aristides Quintilianus telah dialihbahasakan ke dalam bahasa Arab. Tidak diketahui apakah tulisan-tulisan ini masih ada, namun dapat dipastikan bahwa hampir semua ahli-ahli teori musik Arab abad pertengahan menguasai teori musik Yunani, dan dalam karya-karya mereka dipaparkan “sistema ametabolon”, ketiga ragam (Geschlechter) “enharmonikon, “chromatikon”, dan “diatonon”, demikian pula berbagai pembagian “tetrachord” yang berasal dari tradisi musik Yunani.
Kendati demikian, dalam teori musik Arab terdapat pembagian-pembagian tetrachord yang tidak terdapat pada teori musik Yunani. Dengan kata lain, ahli-ahli teori musik Arab tidak hanya memungut dan mengadaptasi teori musik Yunani secara harfiah, tapi juga memodifikasi dan me-reshuffle teori musik tersebut sesuai dengan kebutuhan mereka sendiri. Perbedaan lain yang menonjol adalah kenyataan bahwa bangsa Yunani memaparkan sistem nadanya pada Monochord, sementara bangsa Arab melakukan hal yang sama pada alat musik ‘Ud. Terkecuali Safi al-Din, selain memaparkan sistem 17 nadanya dalam “al-Risala al-Sarafiyya” pada ‘Ud, ia juga memaparkan sistem 17 nada tersebut dengan Monochord dalam “Kitab al-Adwar”.
Dari daftar para ahli teori musik yang tercantum dalam lampiran di bawah ini, secara singkat dapat dikemukakan bahwa sistem nada dari al-Maushili, Yahya ibn ‘Ali, Ikhwan al-Shafa, al-Kindi dan Safi al-Din,[1] seluruhnya didasarkan pada apa yang disebut sistem Pythagoras.[2] Berbeda dari para ahli teori musik tersebut, al-Farabi dan Ibnu Sina, disamping menggunakan nada-nada Pythagoras, ternyata memakai nada-nada lain yang tidak terdapat pada teori musik Yunani. Secara singkat, dapat dikemukakan bahwa tangganada dari al-Maushili, Yahya ibn ‘Ali dan Ikhwan al-Shafa (ketiganya adalah sama) seperti nampak pada contoh A, tangganada dari al-Kindi dan Safi al-Din adalah seperti nampak pada contoh B dan C, sedangkan tangganada dari al-Farabi dan Ibnu Sina seperti pada contoh D dan E.

[A]      c d es e f g as a bes c
[B]      c des d es e f ges g as a b c
[C]      c des es2 d es fes e f ges as2 g as bes2 a bes ces des2 c
[D]     c d (27/22) f g (18/11) bes c
[E]      c d (13/12) f g (39/32) bes c

Seperti kita lihat di atas, tangga nada dari al-Maushili, Yahya ibn ‘Ali dan Ikhwan al-Shafa terdiri dari 9 nada, tangga nada dari al-Kindi terdiri dari 12 nada (!) dan tangga nada dari Safi al-Din terdiri dari 17 nada. Sedangkan tangganada dari al-Farabi dan Ibnu Sina dikemukakan hanya dalam maqam “Rast” saja untuk menunjukkan bahwa kedua ahli teori musik ini, di samping menggunakan nada-nada Pythagoras, juga memakai nada-nada lain, yang di atas dinyatakan dengan memberikan perbandingan frekwensi dari nada-nada tersebut; al-Farabi 27/22 dan 18/11 dan Ibnu Sina 32/12 dan 39/32 untuk terz dan sext.
Perlu digarisbawahi bahwa al-Kindi, sejak abad ke-IX telah memperkenalkan apa yang dewasa ini disebut sebagai tangga nada “chromatis”,[3] sementara di Barat-Eropa sendiri, pembagian nada penuh (ganston) itu dalam dua setengah nada baru dilakukan oleh Johan de Garlandia untuk pertama kalinya sekitar tahun 1300 (!). Malahan Safi al-Din sudah memakai 17 nada dalam satu oktav, yang dalam perkembangannya kemudian dilanjutkan oleh Yekta Bey, Suphi Ezgi, Uzdilek, Ezgi dan Barkechli sampai menjadi 24, 29, 41 dan 53 nada dalam satu oktav. Namun demikian, semua tangga nada dari para teoretikus ini didasarkan pada sistem Pythagoras. Berlainan dengan tokoh-tokoh tersebut, al-Farabi dan Ibnu Sina, seperti telah dikemukakan di atas, memakai juga nada-nada di luar sistem Pythagoras. Hal inilah yang menunjukkan ciri khas musik Arab.
Syahdan, seorang pemain ‘Ud kaliber atas (meninggal pada tahun 791) menentukan dalam maqam Rast pemakaian suatu “fret” yang kemudian disebut fret dari Zalzal (Wosta dari Zalzal) yang perbandingannya dengan nada dasar (mutlak) 27/22. Adalah sebuah tindakan bersejarah dari al-Farabi yang menghidupkan terz dan sext dari Zalzal tersebut dalam teori musiknya. Maqam Rast tersebut dalam bentuknya yang sederhana (dalam hal ini disebut juga ‘Ussaq) adalah sebagai berikut; c-d-e-f-g-a-bes-c, jadi sama dengan modus Micolydis dari tangganada gereja. Sesudah Zalzal orang menginginkan terz dan sext yang lain, sehingga rast tersebut sebenarnya tidak dapat dipraktekkan dalam tanggganada dari al-Maushili, Yahya ibn ‘Ali dan Ikhwan al-Shafa. Seperti kita lihat di atas, maqam Rast tersebut pada al-Farabi adalah; c-d-27/22-f-g-18/11-bes-c, sementara pada Ibnu Sina; c-d-13/12-f-g-39/32-bes-c. Maqam Rast tersebut pada al-Farabi dan Ibnu Sina dapat dikatakan berdekatan, sedangkan pada Safi al-Din sudah jauh berbeda. Terz dan sext tersebut bila dinyatakan dengan “cent” pada al-Farabi 355 dan 853, pada Ibnu Sina 342 dan 840, maka kedua interval tersebut pada Safi al-Din menjadi 384 dan 882. Dengan demikian, pada abad pertengahan terdapat dua aliran; sistem al-Farabi/Ibnu Sina dan sistem Safi al-Din. Kenyataan ini menimbulkan konsekwensi tersendiri dalam perkembangan teori musik Arab dewasa ini.
Sistem dari al-Farabi dan Ibn Sina bila dicarikan kompromi dalam alat musik yang memiliki nada-nada tetap (seperti qanun, santur, dan piano) otomatis menimbulkan apa yang disebut seperempat nada, sehingga dalam satu oktav terdapat 24 nada.[4] Jadi apabila para teoretikus musik dari Turki dan Iran memegang teguh pada pembagian oktav dalam 17 nada, maka itu tidak lain bahwa mereka berpegang teguh pada sistem nada Safi al-Din. Sedangkan bila ahli-ahli teori musik dari Mesir dan Siria tidak berkeberatan mengaplikasikan pembagian oktav dalam 24 nada, maka itu berarti mereka berpegang pada sistem nada al-Farabi/Ibnu Sina.                     
Sebagaimana disebutkan di atas, pada zaman Harun al-Rasyid kota Baghdad merupakan pusat dari aktifitas kebudayaan Islam. Pada masa itu, ada seorang musisi kenamaan yang berdinas di istana Harun al-Rasyid, yaitu Ishaq al-Maushili. Dia mempunyai seorang murid yang berbakat, yaitu Ziryab. Karena bakat sang murid ini begitu menonjol, al-Maushili khawatir sang murid akan menggusur posisinya. Maka al-Maushili menyarankan agar Ziryab meninggalkan Baghdad. Untuk menghindari permasalahan dengan gurunya, maka Ziryab pergi ke Cordova dan mendirikan sekolah musik di sana, sehingga di Cordova musik Arab pun mengalami perkembangan.
Musik Arab manampilkan diri dalam bentuk musik vokal dan instrumental maupun kombinasi dari keduanya; sebagai musik profan maupun musik sakral. Namun, satu karakteristik dari semua ekspresi musik Arab adalah bahwa semua ragam dari musik Arab didasarkan pada prinsip “maqam” (pattern, tangga nada), yaitu sistem penggunaan berbagai modus.
Eksemplar dari musik profan yang cukup populer adalah dua bentuk musik vokal dengan iringan alat musik, yaitu “al-Maqam al-‘Iraqi” dan “Andalusia Nuba”. Yang pertama, seperti nampak pada namanya, berasal dari Baghdad, sedangkan yang kedua berasal dari Andalusia (Cordova). Ketika bangsa Arab harus meninggalkan semenajung Spanyol, “Andalusia Nuba” ini kemudian tersebar di Maroko, Algeria, Tunisia, dan Libia. Bentuk-bentuk musik lain yang bersifat profan antara lain “muwassah” (di bagian Timur semenanjung Arab), “dor” (Mesir), “fgiri” (musik penangkap ikan di sekitar teluk Arab), “qasida” (juga dikenal di Indonesia), “layali” dan “mawal”. Sedangkan bentuk musik instrumental yang dapat diidentifikasi antara lain; “taqsim” dan “samai”, di mana pemusik menunjukkan keterampilannya, baik dalam mengembangkan maqam maupun dalam permainan alat musik.
Sementara musik religius dapat diidentifikasi dalam beberapa bentuk musik yang memiliki pertautan dengan ritual-ritual keagamaan, seperti pembacaan al-Qur’an (tilawatil Qur’an), shalawat, dan tradisi musik rakyat yang berkaitan dengan upacara-upacara keagamaan. Namun demikian, perlu dikemukakan bahwa orang Arab sendiri (baca: orang Islam) tidak menyebut yang demikian itu sebagai musik. Al-Qur’an misalnya, di samping dapat dibacakan saja, dapat pula dibawakan dalam bentuk nyanyian dengan memenuhi semua syarat-syarat musikal (seperti pemakaian maqam dll.) yang diperlukan oleh musik. Namun orang yang membawakan al-Qur’an dengan gaya yang disebut terakhir ini ternyata tidak disebut sebagai penyanyi (mughanni), tetapi sebagai pembaca (muqri’). Bentuk musik religius lain yang dapat disebutkan adalah azan, yang diucapkan dari minaret, dan acap mengembangkan suatu maqam tertentu secara mempesona dan mengagumkan. Selain itu, terdapat “madih al-nabawi”, yaitu suatu bentuk nyanyian yang merupakan pujian kepada Nabi dan keluarganya – lagu-lagu yang berkaitan dengan kelahiran Nabi (maulid) dapat dikategorikan sebagai madih nabawi.
Deskripsi di atas hanya menyinggung sekelumit dari aspek musik Arab. Bagaimanapun, pembahasan mengenai musik Arab tidak mungkin dapat secara tuntas dibicarakan dalam satu hentakan nafas. Kendati demikian, beberapa segi yang telah dikemukakan di atas mudah-mudahan dapat menggerakkan hati kita untuk secara serius memperdalam pengetahuan kita mengenai musik Arab serta melihat kemungkinan untuk menekuni tradisi musik Arab dan tradisi musik Islam dalam cakupan yang lebih luas. Kita, masyarakat dunia ketiga, yang terbiasa memandang Barat sebagai bangsa yang superior, sebetulnya sedikit banyak dapat merasa bangga, setelah mengetahui bahwa bangsa Arab, sebagai representasi dari bangsa non-Barat (baca: Oriental), pernah lebih maju secara kultural ketimbang bangsa Eropa. Namun demikian, kemajuan sebuah peradaban tidak mungkin dibangun dengan semata-mata bersandar pada memori kultural dan nostalgia masa lalu. Ikhtiar membangun suatu peradaban harus didasarkan pada dialektika antara masa lalu dan masa kini, dialog antara tradisi dan modernitas, secara kreatif dan produktif.

Bibliografi
Ali Jihad Racy, “Arab Music: An Overview”, Maqam: Music of the Islamic World and Its Influences, ed. Robert Browning (New York: Alternative Museum, 1984).
George D. Sawa, Music Performance in the Early ‘Abbasid Era 132– 320 ah/750– 932 ad (Toronto: Pontifi cal Institute of Mediaeval Studies, 1989).
Amnon Shiloah, Music in the World of Islam: A Socio-Cultural Study (Detroit, MI: Wayne State University Press, 1995).


[1] Abd al-Qadir, Anonymus dan al-Ladiqi hanya melakukan komentar pada sistem dari Safi al-Din, sedangkan Mihail Misaqa, seorang ahli teori musik zaman baru, memaparkan sistem seperempat nada atau sistem 24 nada. 
[2] Dalam sistem nada Pythagorean, perbandingan nada-nada hanya memakai proporsi dari angka dua dan tiga.
[3] Tangga nada “chromatis” adalah tangga nada yang memiliki rangkaian 12 nada dalam satu oktav.
[4] Sebuah sistem nada yang dikemukakan oleh Misaqa.

Komentar

  1. bagus ini artikelnya....

    please check this out, mate...
    your appreciation is very meaningful for us...
    thankyou... our best regard...

    http://www.youtube.com/watch?v=Uu1ZwjHZqQ0

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

TRADISI KESENIAN ISLAM NUSANTARA: LEGASI DAN KONTEKSTUALISASI

Rahmat Kemat Dalam cakrawala kebudayaan Islam Indonesia kontemporer, kecenderungan untuk memanifestasikan kebudayaan Islam dalam lokus kehidupan kebangsaaan terpolarisasi ke dalam dua mainstream . Pertama , kecenderungan untuk memaksakan formalisasi ajaran Islam dalam seluruh manifestasi kebudayaan bangsa. Kedua , kecenderungan untuk menepis formalisasi ajaran Islam dalam seluruh manifestasi kebudayaan bangsa. Kedua kecenderungan tersebut pada gilirannya akan menorehkan implikasi yang sangat berbeda terhadap wajah kebudayaan Islam Indonesia. Di sisi lain, pemahaman terhadap kebudayaan Islam Indonesia ditandai oleh suatu fenomena yang perlu mendapat perhatian serius dari segenap kalangan. Pertama , menyusutnya memori kolektif masyarakat terhadap khazanah kebudayaaan Islam Nusantara. Kedua , merosotnya pemahaman konseptual tentang seni Islam di kalangan luas masyarakat. Ketiga , ketidakpedulian masyarakat terhadap signifikansi dan peranan seni d

RAMADHAN DAN RELIGIUSITAS MASYARAKAT KONSUMER

Rahmat Kemat Memasuki bulan Ramadhan, artefak-artefak budaya populer dan situs-situs budaya konsumer di Indonesia mulai dilanda demam “islamisasi”. Media cetak dan elektronik seperti koran, majalah, televisi, dan radio; program-program entertainment seperti film, sinetron, musik, dan opera sabun; pusat-pusat perbelanjaan dan makanan seperti mall, plaza dan restoran mendadak “masuk Islam”. Pada bulan ini, perkawinan antara elemen-elemen kebudayaan Barat dan simbol-simbol keislaman – yang sering kali diandaikan sebagai dua entitas yang saling bertentangan – memasuki episode “bulan madu”. Dari segi kuantitas dan intensitasnya, “peristiwa” semacam ini jarang kita jumpai di bulan-bulan lain. Fenomena ini mendemonstrasikan sebuah ritual perkawinan yang aneh dan membingungkan sehingga memaksa kita untuk bertanya, ada apa dengan Ramadhan di abad ini. Agama dan Kapitalisme Sejarah masyarakat kontemporer di era globalisasi dibentuk secara signifikan