Langsung ke konten utama

RAMADHAN DAN RELIGIUSITAS MASYARAKAT KONSUMER

Rahmat Kemat
Memasuki bulan Ramadhan, artefak-artefak budaya populer dan situs-situs budaya konsumer di Indonesia mulai dilanda demam “islamisasi”. Media cetak dan elektronik seperti koran, majalah, televisi, dan radio; program-program entertainment seperti film, sinetron, musik, dan opera sabun; pusat-pusat perbelanjaan dan makanan seperti mall, plaza dan restoran mendadak “masuk Islam”.
Pada bulan ini, perkawinan antara elemen-elemen kebudayaan Barat dan simbol-simbol keislaman – yang sering kali diandaikan sebagai dua entitas yang saling bertentangan – memasuki episode “bulan madu”. Dari segi kuantitas dan intensitasnya, “peristiwa” semacam ini jarang kita jumpai di bulan-bulan lain. Fenomena ini mendemonstrasikan sebuah ritual perkawinan yang aneh dan membingungkan sehingga memaksa kita untuk bertanya, ada apa dengan Ramadhan di abad ini.

Agama dan Kapitalisme
Sejarah masyarakat kontemporer di era globalisasi dibentuk secara signifikan oleh abad mesin dan teknologi baru industri kapitalis. Pada masa ini, kapitalisme telah menjadi kekuatan dominan yang tidak hanya mampu menata dunia menjadi satu tatanan global, tetapi juga telah mengubah tatanan masyarakat yang bertumpu pada perbedaan-perbedaan dan mengarahkan masyarakat dalam pembentukan status dan identitas personal dan kolektif. Dalam era ini, media elektronik dan budaya konsumer memainkan peranan penting di jantung kehidupan masyarakat kontemporer.
Di zaman ini, logika komoditas telah menjadi logika umum yang tidak hanya mendikte proses-proses kerja dan produk-produk material, tetapi juga mentransformasikan bentuk-bentuk dan praktik-praktik kebudayaan, agama serta masyarakat. Oleh karena itu, dalam masyarakat yang berorientasi pada pasar ini, cara pandang manusia terhadap agama pun mengalami pergeseran.
Agama tidak lagi menjadi sumber nilai dalam pembentukan gaya hidup, tetapi telah menjadi instrumen gaya hidup itu sendiri. Agama telah berubah menjadi produk yang dikonsumsi dalam rangka “identifikasi diri”. Kecenderungan ini merepresentasikan proses komodifikasi agama yang melibatkan manipulasi tanda. Alhasil, yang dikonsumsi manusia bukan lagi makna agama, melainkan simbol-simbol agama. Strategi komodifikasi agama ini melibatkan dua proses sekaligus; religifikasi komoditas dan komoditisasi agama (Ronald Lukens-Bull, 2008).
Proses pertama dimulai dengan produk, kemudian menginfusi makna religius ke dalamnya. Dengan memasukkan makna religius ke dalam komoditas, para “khalifah kapitalis” mampu menciptakan produk-produk mereka lebih dari satu cara untuk memuaskan dahaga konsumen. Proses tersebut sekaligus menjadi cara untuk menyuguhkan imaji ketaatan beragama di benak konsumen yang mengkonsumsi produk-produk kapitalis. Proses kedua dimulai dengan makna religius, kemudian mengekspresikannya ke dalam produk-produk material. Para produsen produk-produk ini berusaha mengartikulasikan sentimen-sentimen religius yang sudah bersemayam di benak konsumen dengan cara menciptakan produk-produk yang mungkin diminati oleh mereka.
Dalam banyak kasus, persentuhan antara agama dengan budaya populer ini kerap menghasilkan apa yang disebut sebagai “hiburan keagamaan” (religiotainment). Proses religiotainment ini mempertautkan dua modus ekspresi, yakni hiburan yang bernuansa keagamaan dan agama yang dikemas menjadi paket hiburan (Akh Muzakki, 2008). Bulan Ramadhan menyuguhkan testimoni sosiokultural yang paling gamblang dalam konteks ini. Selama bulan ini, kita dapat dengan mudah menemukan berbagai bentuk “hiburan keagamaan” di sejumlah media massa dan elektronik; mulai dari sinetron islami, musik religi, kuis, iklan, talk show, dakwah keagamaan, hingga kontes da’i cilik. Singkatnya, dalam kasus ini, Islam telah mengalami transformasi menjadi merek-merek populer (popular brands) bagi komoditas, media dan produk-produk budaya.

Di Manakah Religiusitas? 
Barangkali kita tidak perlu membangun pengandaian hiperbolis atas fenomena agama di dunia kontemporer ini. Sudah sejak dahulu agama sebagai sebuah gejala historis-sosiologis selalu memuat nilai-nilai ekonomi. Dalam setiap momen keagamaan, seperti ziarah ke pemakaman orang suci, perayaan Maulid Nabi, ritual ibadah haji, hingga perayaan Idul Fitri, nilai-nilai ekonomi selalu menjadi “mitra” agama yang sulit untuk diceraikan.
Persoalannya, di zaman post-modern ini, ketika manusia dikepung dalam gelombang budaya konsumer, mana yang mendefinisikan yang mana; agama mendefinisikan ekonomi atau sebaliknya, ekonomi mendefinisikan agama? Sederet pertanyaan lain bisa saja kita ajukan. Apakah fenomena di atas merepresentasikan proses komodifikasi agama atau religifikasi komoditas? Proses pendangkalan agama atau peningkatan kesadaran beragama? Proses islamisasi kesenian atau estetisasi Islam? Jawabannya bisa sangat ambigu dan kontradiktif, berpulang pada siapa yang menjawab; apakah kaum elite (pemerintah, ulama, kapitalis) atau kaum awam (rakyat, umat, massa).
Tulisan ini sama sekali tidak berpretensi menawarkan kerangka kepastian atas persoalan-persoalan di atas. Ini sekedar refleksi atas realitas empiris yang mengepung keberadaan kita atau mungkin sekedar ekspresi kebingungan atas simtom zaman yang serba tidak pasti. Satu hal yang saya yakini, ikhtiar untuk memahami dan menghayati agama di dunia post-modern memerlukan “jalan berputar” yang kerap sulit untuk dilakoni. Tanpa melawati jalan berputar tersebut, umat beragama cenderung rentan menjadi mangsa kapitalis, pemuja komoditas, nomad ideologi, pengidola simbol, jemaah kultus, pelaku teroris, atau malah menjadi rasionalis-skeptis yang renta dan pesimis.
Semoga Ramadhan kali ini dapat menjadi momen yang baik bagi kita untuk meretas jalan berputar yang rumit itu; sebuah ritus primordial yang senantiasa diajarkan oleh para malaikat di atas langit, oleh bintang-bintang di semesta tata surya, oleh para pecinta Tuhan di sekeliling Baitullah. Barangkali inilah yang mendorong para sufi kerap menyitir Firman Allah SWT, “Ke manapun kamu menghadap di sanalah wajah Allah”. Mampukah kita menapaki jejak Tuhan dalam kepungan budaya konsumer?

*Tulisan ini pernah dimuat di Kompas, Kamis 4 Agustus 2011.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TRADISI KESENIAN ISLAM NUSANTARA: LEGASI DAN KONTEKSTUALISASI

Rahmat Kemat Dalam cakrawala kebudayaan Islam Indonesia kontemporer, kecenderungan untuk memanifestasikan kebudayaan Islam dalam lokus kehidupan kebangsaaan terpolarisasi ke dalam dua mainstream . Pertama , kecenderungan untuk memaksakan formalisasi ajaran Islam dalam seluruh manifestasi kebudayaan bangsa. Kedua , kecenderungan untuk menepis formalisasi ajaran Islam dalam seluruh manifestasi kebudayaan bangsa. Kedua kecenderungan tersebut pada gilirannya akan menorehkan implikasi yang sangat berbeda terhadap wajah kebudayaan Islam Indonesia. Di sisi lain, pemahaman terhadap kebudayaan Islam Indonesia ditandai oleh suatu fenomena yang perlu mendapat perhatian serius dari segenap kalangan. Pertama , menyusutnya memori kolektif masyarakat terhadap khazanah kebudayaaan Islam Nusantara. Kedua , merosotnya pemahaman konseptual tentang seni Islam di kalangan luas masyarakat. Ketiga , ketidakpedulian masyarakat terhadap signifikansi dan peranan seni d

MUSIK ARAB DALAM CAKRAWALA PERADABAN ISLAM

Rahmat Kemat Secara historis, bangsa Arab telah memiliki tradisi musik tersendiri pada masa pra-Islam . Meskipun demikian, tidak dapat dinafikan bahwa teori dan praktik musik Arab baru mencapai puncak perkembangannya setelah agama Islam mengepakkan sayapnya ke seluruh wilayah territorial yang lazim disebut sebagai belahan bumi “Oriental”, bahkan sampai ke semenajung Iberia dan Andalusia. Pada abad pertama Hijriyah, musik Arab menampilkan diri dalam bentuk yang masih sederhana . Tetapi pada masa pemerintahan Umayyah di Damaskus, abad ke-2 H, perkembangan musik mengalami kemajuan. Madinah, sebagai salah satu pusat kebudayaan Islam kala itu, tampil sebagai pusat kegiatan seni musik di Dunia Arab. Perkembangan yang meng agumkan itu dimungkinkan setelah orang Arab mempelajari seni musik Persia dan Yunani. Perkembangan seni musik mencapai puncaknya pada zaman Abbasiyah (650-1256 M). Ibu kota kekhalifa h an Abbasiyah , Baghdad , ketika itu tampil s