Langsung ke konten utama

TRADISI KESENIAN ISLAM NUSANTARA: LEGASI DAN KONTEKSTUALISASI

Rahmat Kemat

Dalam cakrawala kebudayaan Islam Indonesia kontemporer, kecenderungan untuk memanifestasikan kebudayaan Islam dalam lokus kehidupan kebangsaaan terpolarisasi ke dalam dua mainstream. Pertama, kecenderungan untuk memaksakan formalisasi ajaran Islam dalam seluruh manifestasi kebudayaan bangsa. Kedua, kecenderungan untuk menepis formalisasi ajaran Islam dalam seluruh manifestasi kebudayaan bangsa. Kedua kecenderungan tersebut pada gilirannya akan menorehkan implikasi yang sangat berbeda terhadap wajah kebudayaan Islam Indonesia.
Di sisi lain, pemahaman terhadap kebudayaan Islam Indonesia ditandai oleh suatu fenomena yang perlu mendapat perhatian serius dari segenap kalangan. Pertama, menyusutnya memori kolektif masyarakat terhadap khazanah kebudayaaan Islam Nusantara. Kedua, merosotnya pemahaman konseptual tentang seni Islam di kalangan luas masyarakat. Ketiga, ketidakpedulian masyarakat terhadap signifikansi dan peranan seni dalam kehidupan, terutama seni sebagai wahana ekspresi keagamaan, media pendidikan, sarana pemekaran imajinasi dan sumber pemberdayaan ekonomi.
Oleh karena itu, ikhtiar untuk menelusuri dan merefleksikan kembali corak dan karakteristik Islam Nusantara menjadi sesuatu yang sangat penting. Ikhtiar semacam ini diharapkan dapat memberikan gambaran yang baik tentang proses islamisasi Indonesia di satu sisi dan indigenisasi Islam di sisi lain. Secara historis, dialektika antara proses islamisasi dan indigenisasi inilah yang telah menghasilkan entitas Islam Nusantara” yang memiliki corak dan karakteristik yang berbeda dengan Islam di belahan dunia lainnya.
Ikhtiar tersebut dapat dilakukan salah satunya dengan cara menelusuri tradisi kesenian Islam Nusantara. Dalam literatur-literatur tentang Islam Indonesia, fenomena kesenian Islam Nusantara sebagai sebuah praktik dan ekspresi kebudayaan jarang sekali mendapat perhatian para pengkaji Islam Indonesia, baik dalam konteks kajian historis, sosiologis maupun antropologis. Padahal, kesenian Islam Nusantara merupakan salah satu parameter untuk mengukur dinamika dan proses islamisasi Indonesia, di satu sisi, dan proses indigenisasi Islam di Indonesia, di sisi lain.
Beberapa literatur tentang Islam Indonesia menyebut perkembangan Islam di Nusantara dengan istilah “perembesan secara damai”. Dennys Lombard, seorang antropolog Prancis, misalnya, menunjukkan bahwa penetrasi Islam di kepulauan Nusantara lebih banyak mengandalkan jalur-jalur kultural. Dalam berhadapan dengan nilai-nilai budaya masyarakat, Islam tidak menggunakan strategi konfrontasi, melainkan menggunakan strategi dialog. Melalui cara seperti itu, Islam kemudian berkembang pesat di Nusantara dan diresapi secara intensif oleh para penganutnya. Proses inilah yang kemudian membentuk apa yang disebut sebagai entitas “Islam Nusantara”. Fakta tersebut sekaligus menunjukkan bahwa nilai-nilai Islam pada dasarnya mampu berdialog dengan kultur-kultur lokal. Dalam konteks inilah statemen Smith menemukan relevansinya, “ketika Islam berkembang, ia sesungguhnya tidak akan pernah betul-betul sama dari satu tempat ke tempat lain atau dari satu waktu ke waktu lain. Islam akan membentuk sebuah tradisi kultural yang spesifik di mana ia tumbuh dan berkembang.”
Dalam sejarah penyiaran Islam di Nusantara, banyak reportase yang meriwayatkan bahwa para pendakwah Islam kerap memanfaatkan seni sebagai medium ampuh dalam mendiseminasikan ajaran agama. Peranan penting seni dalam penyebaran agama Islam ini, misalnya, dapat dilihat dari kesaksian seorang ahli sejarah Islam abad ke-15 M, Syaikh Zainuddin al-Ma‘bari. Dalam Tuhfah al-Mujâhidîn, sebuah buku yang memuat laporan tentang penyebaran Islam di India dan Asia Tenggara, al-Ma’bari menghikayatkan bahwa keberhasilan dakwah Islam di wilayah ini banyak dibantu oleh pembacaan kisah Nabi Muhammad SAW yang dinyanyikan dengan indah. Fakta historis tersebut bahkan masih dapat kita saksikan sampai saat ini, di mana pembacaan riwayat Nabi dengan cara dinyanyikan, seperti pada pembacaan Kasidah Burdah, Kasidah Barjanji, Syair Rampai Maulid, dan sebagainya senantiasa dipraktikkan oleh masyarakat Muslim Indonesia di pelbagai daerah.
Melalui tarekat-tarekat sufi yang aktif sejak abad ke-15, Islam juga mengembangkan beberapa jenis musik dan tarian, baik yang berakar dari tradisi Arab-Persia maupun tradisi Melayu-Jawa. Jejak-jejak estetika Islam tersebut dapat diidentifikasi dalam Saluang Minang yang mencerminkan pengaruh tilawah pada musik lokal, tari Seudati Aceh yang tumbuh dari tarian-tarian sufi, tari Pantil di Madura, zikir rebana, zapin dan rampak yang tumbuh di lingkungan masyarakat Melayu.[1] Demikian pula tembang-tembang suluk dalam bahasa Jawa, Sunda dan Madura; Tâj al-Salâtin, Samrah al-Muhimmah, Serat Menak, Hikayat Amir Hamzah, Umar Umaya, Menak Cina dan sebagainya. Di Jawa, para wali seperti Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, dan Sunan Gunung Jati dalam dakwahnya sering menggunakan gamelan. Berkat kreativitas para wali inilah estetika Gamelan Jawa, Sunda dan Madura berbeda dengan estetika Gamelan Bali yang masih meneruskan tradisi Hindu -- Gamelan Jawa dan Degung Sunda cenderung kontemplatif, karena dalam estetika Islam yang diutamakan adalah penciptaan suasana khusuk dalam merenungi Tuhan.[2]
Sumarsam, seorang etnomusikolog Indonesia, pernah mengemukakan tentang relasi intim antara Islam dan kesenian tradisional Jawa, baik dalam komunitas Islam abad ke-18 dan 19 maupun dalam tradisi pondok pesantren. Dalam kenyataannya, alih-alih menghindari pertunjukan musik (musical performance) dan penerimaan musik (musical reception), kebanyakan Muslim Indonesia justru merayakan penggunaan musik dan pertunjukan seni lainnya serta menganggapnya sebagai komponen penting bagi identitas komunitas mereka. Bahkan Wali Songo sendiri kerap diasosiasikan sebagai penemu seni pertunjukan (art performance) di Nusantara, baik dalam bentuk aransemen lagu dan melodi, gamelan, dan wayang kulit. Musik gamelan sendiri seringkali dimanfaatkan untuk menarik masyarakat kepada Islam, dan sejumlah instrumen gamelan dalam sekatenan bahkan hingga saat ini dipertunjukkan untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW.
Salah satu genre musik Islam yang berkembang luas di Indonesia adalah shalawat. Meskipun shalawat lazimnya diasosiasikan dengan tradisi pembacaan sejarah Nabi dan puji-pujian terhadap beliau – seperti dalam pembacaan barzanji dan qasidah burdah – sesungguhnya pelbagai komunitas Muslim Indonesia mengembangkan tradisi shalawat sedemikian rupa dalam pelbagai bentuk dan konteks yang beragam. Namun demikian, poin penting yang patut dicatat adalah bahwa para ulama, kyai, dan sufi di Indonesia mengembangkan shalawat sebagai sarana untuk mentransformasikan ajaran-ajaran Islam dengan cara memberikan sentuhan lokal dari segi bentuk dan komposisi.
Dalam bidang kesenian lain, Tom Pires – seorang musafir Portugis yang menjadi turis di Pulau Jawa pada abad ke-16 – dalam Suma Oriental, menyebutkan bahwa para wali di kepulauan Nusantara sangat aktif mengajarkan seni kerajinan kepada murid-muridnya dan masyarakat di sekitar tempat mereka berdakwah. Ukiran Jepara dan Madura yang masing-masing berpusat di kota Jepara dan Sumenep merupakan contoh empirik tentang kesinambungan kegiatan seni kerajinan yang dirintis para wali sufi di Jawa pada abad ke-16 -- kedua tempat ini, Jepara dan Sumenep, merupakan pusat penyebaran agama Islam terpenting di pulau Jawa. Ukiran-ukiran pesisir ini didominasi oleh ragam hias tetumbuhan (arabesque) dan pola geometri, yang merupakan kecenderungan umum seni Islam. Secara geneologis, pola seperti itu memiliki pertautan dengan seni hias yang berkembang di Persia dan India.
Selain bentuk-bentuk kesenian di atas, kita juga tidak boleh melupakan kenyataan bahwa seni batik yang pusat-pusat industrinya berada di daerah pesisir pulau Jawa seperti Cirebon, Pekalongan, Lasem, Jepara, Tuban, Madura, Probolinggo dan sebaginya, baru berkembang pesat setelah masuknya Islam. Kota-kota pesisir ini tumbuh berkat perkembangan komunitas Muslim yang aktif dalam perdagangan dan menguasai dunia pelayaran. Kemunculan Yogya dan Solo sebagai pusat seni batik yang maju bahkan dimungkinkan setelah berdirinya kerajaan Mataram – tradisi batik dibawa ke tempat ini dari pesisir.
Jika deskripsi di atas mengilustrasikan perembesan “nafas Islam” dalam budaya lokal, sebaliknya kita juga dapat menunjukkan pengaruh warna lokal dalam budaya Islam di Nusantara. Arsitektur tropis kita, misalnya, sejak semula sudah menolak manifestasi arsitektural Islam dari Timur Tengah. Pola arsitektural masjid Demak, misalnya, berbeda dari bangunan mesjid yang ada di Timur Tengah. Mesjid ini dibangun berdasarkan pola arsitektur lokal, yaitu meru atau pagoda Hindu yang beratap tumpang tiga sebagai simbol gunung kosmik.[3] Tumpang tujuh diganti dengan tumpang tiga sebagai lambang tahapan perjalanan kerohanian dalam tasawuf, yaitu syariat, tarekat, hakekat, atau lambang peringkat-peringkat alam dalam kosmologi Islam, yaitu alam nasut, alam malakut, alam jabarut -- alam lahut tidak dilambangkan sama sekali karena zat Tuhan tidak dapat dikenal.
Demikian pula simbolisasi ajaran Islam dalam sejumlah perlambangan lokal seperti tauhid oleh mustika masjid di Jawa dan asketisme sufi oleh tarekat menurut cara daerahnya masing-masing, jelas memperlihatkan penyerapan secara intensif kesenian Islam atas budaya lokal. Justru di sinilah terlihat letak kekuatan adaptif Islam, yang memungkinkannya melakukan regenerasi diri tanpa kehilangan akar-akarnya semula. Dengan demikian, universalitas dilekatkan pada keabadian pesan-pesan Islam, bukan pada manifestasi lahiriah dari kehidupan budaya masing-masing.
Realitas historis sebagaimana didedahkan di atas menunjukkan bahwa modus keagamaan yang menekankan dimensi spiritual-estetik, yang memberi tempat bagi pengucapan uncounscious mind, merupakan modus keagamaan yang paling selaras dengan pandangan dunia klasik Islam Nusantara. Dalam Islam Observed, Clifford Geertz melukiskan gaya klasik Islam Indonesia sebagai iluminasionisme, dengan pandangan dunianya (world view) yang bersifat sinkretik, sejalan dengan etosnya yang bersifat adaptif, gradualistik, puitik dan toleran. Gaya seperti ini, menurutnya, bertahan setidaknya hingga awal abad ke-19.
Namun sejak akhir abad itu, gelombang modernisme dan skripturalisme dalam ruang publik Nusantara membawa tantangan serius terhadap gaya klasik tersebut. Efek modernisasi dan skripturalisasi menimbulkan clash of ideas pada ranah world view yang tak mudah didamaikan, belum lagi disauti oleh goyahnya etos keberagamaan. Meskipun masyarakat masih menjaga simbol-simnbol suci dan sakral, mereka mulai kehilangan pengalaman perjumpaan langsung dengan Yang Ilahi. Gelombang modernisasi dan skripturalisasi sama-sama menimbulkan apa yang yang disebut Max Weber “disenchantment of the world”, pudarnya elemen-elemen magis-sakral-spiritual yang pada muaranya membawa retakan dalam moda keberagamaan.
Modernisasi dan puritanisasi keagamaan menjadikan kekayaan simbol dan mitologi keagamaan dipandang sebagai “takhayul”, yang pada gilirannya memompa kemarau spiritualitas dalam kehidupan Indonesia kontemporer. Bersama kemarau spiritualitas, seni mengalami komodifikasi yang menghasilkan banalitas dalam karya seni. Termasuk dalam sapuan komodifikasi ini terepresentasikan dalam tumpah-ruahnya tema-tema musik religius dan sastra keagamaan yang lebih banyak memanjakan gairah kesalehan formal dan spiritualitas instan, yang hanya menjanjikan kepuasan batin sejenak. Alhasil, ketika ekspresi keagamaan kehilangan daya-daya imaji-estetik-puitiknya, maka religiusitas dan spiritualitas lambat laun akan memudar dari denyut nadi kehidupan masyarakat. Barangkali itulah salah satu pangkal alienasi dan nestapa kehidupan Indonesia kontemporer.

Bibliografi
Abdul Hadi W.M, “Islam dan Seni di Indonesia”, dalam Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 2, No. 2 (2004), h. 144-154.
Clifford Geertz, Islam Observed: Religious Development in Marocco and Indonesia (University of Chicago Press, 1971).
Dennys Lombard, Nusa Jawa Silang Budaya (Jakarta: Gramedia, 1996).
G.F. Pijper, Beberapa Studi tentang Sejarah Islam di Indonesia (Jakarta: 1985)
Graaf & Pigeaud, “Chinese Muslim in Java in the 15th and 16th Century”, dalam The Malay Annals of Semarang and Cirebon, Monash Paper on Southeast Asia, 12, 1984.
Mark R. Woodward, Islam Jawa: Kesalehan Normatif vs. Kebatinan (Jogjakarta: 1999)

Max Weber, "The Esthetic Sphere", dalam H.H. Gerth dan C. Wright Mills (eds.), From Max Weber: Essay in Sociology (New York: Oxford University Press, 1985). 
Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu, (Bandung: Mizan, 1990)
Tome Pires, Suma Oriental, Edited. & Translated by Armando Cortesao (London: 1944).
Wilfred C. Smith, The Meaning End of Religion (London: New English Library, 1996).



[1] Pengaruh musik sufi sangat kentara dalam tradisi Islam Nusantara. Musik tiup yang ada di Nusantara, misalnya, mengambil nama dari kata Persia nay. Orang Melayu menyebutnya serunai, orang Madura menyebut sronen. Legenda tentang pokok bambu di hutan yang bila ditiup angin akan mengalunkan nyanyian merdu, yang dalam hikayat Melayu disebut ‘buluh perindu’, berasal dari Rumi, yaitu dari bagian awal karyanya Matsnawi (Kisah Seruling Bambu). Dalam gamelan Jawa, instrumen yang berfungsi seperti itu ialah rebab, yang berasal dari musik Arab.
[2] Dalam berdakwah, para Wali Songo pada umumnya menggunakan jalur-jalur kesenian. Raden Paku atau Sunan Giri, yang disebut oleh Belanda sebagai “Paus dari Timur”, merupakan pencipta lagu rakyat Pucung dan Asmarandana. Begitu pula dengan Sunan Kalijaga, beliau adalah pencipta lagu yang paling populer dalam sejarah rakyat Jawa, Lir-ilir. Sunan Kudus juga memiliki keahlian serupa dalam menciptakan lagu-lagu, seperti Maskumambang dan Mijil. Dan Sunan Muria adalah tokoh yang menggunakan gamelan untuk menarik masyarakat agar masuk Islam. Lagu-lagu Jawa Sinom dan Kinanti adalah hasil gubahan beliau.
[3] Beberapa bangunan mesjid-mesjid kuno di Jawa yang terbentang dari Banten di ujung barat pulau Jawa sampai Sendang Duwur menyerupai arsitektur candi, yakni atapnya dibuat bertingkat dan meruncing ke atas. Bangunan demikian masih dapat ditemukan pada meru di Bali, yakni menara persegi yang mengecil ke atas dengan lapisan atap yang terdiri atas lima sampai lebih dari sepuluh (Bali: tumpang). Menurut Woodward, bentuk bangunan mesjid-mesjid tradisional Jawa memiliki hubungan dengan masjid-masjid lama di Kelara, Malabar, India Selatan. Pijper berkesimpulan bahwa bangunan mesjid kuno itu diinspirasi oleh tradisi Hindu-Jawa pra-Islam. Sementara Graaf beranggapan bahwa mesjid dengan model arsitekrut bangunan bertingkat itu menyerupai pola arsitektur di Kashmir dan Malabar. Lombard justru menduga bahwa sistem bangunan masjid-masjid kuno itu dipengaruhi oleh arsitektur Cina, terutama struktur Zhenhailou di Kanton. Graaf dan Pigeaud juga menyatakan bahwa atap bertingkat yang menjadi style mesjid-mesji kuno di Jawa itu menyerupai pagoda di Cina yang digunakan untuk ritual keagamaan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

RAMADHAN DAN RELIGIUSITAS MASYARAKAT KONSUMER

Rahmat Kemat Memasuki bulan Ramadhan, artefak-artefak budaya populer dan situs-situs budaya konsumer di Indonesia mulai dilanda demam “islamisasi”. Media cetak dan elektronik seperti koran, majalah, televisi, dan radio; program-program entertainment seperti film, sinetron, musik, dan opera sabun; pusat-pusat perbelanjaan dan makanan seperti mall, plaza dan restoran mendadak “masuk Islam”. Pada bulan ini, perkawinan antara elemen-elemen kebudayaan Barat dan simbol-simbol keislaman – yang sering kali diandaikan sebagai dua entitas yang saling bertentangan – memasuki episode “bulan madu”. Dari segi kuantitas dan intensitasnya, “peristiwa” semacam ini jarang kita jumpai di bulan-bulan lain. Fenomena ini mendemonstrasikan sebuah ritual perkawinan yang aneh dan membingungkan sehingga memaksa kita untuk bertanya, ada apa dengan Ramadhan di abad ini. Agama dan Kapitalisme Sejarah masyarakat kontemporer di era globalisasi dibentuk secara signifikan

MUSIK ARAB DALAM CAKRAWALA PERADABAN ISLAM

Rahmat Kemat Secara historis, bangsa Arab telah memiliki tradisi musik tersendiri pada masa pra-Islam . Meskipun demikian, tidak dapat dinafikan bahwa teori dan praktik musik Arab baru mencapai puncak perkembangannya setelah agama Islam mengepakkan sayapnya ke seluruh wilayah territorial yang lazim disebut sebagai belahan bumi “Oriental”, bahkan sampai ke semenajung Iberia dan Andalusia. Pada abad pertama Hijriyah, musik Arab menampilkan diri dalam bentuk yang masih sederhana . Tetapi pada masa pemerintahan Umayyah di Damaskus, abad ke-2 H, perkembangan musik mengalami kemajuan. Madinah, sebagai salah satu pusat kebudayaan Islam kala itu, tampil sebagai pusat kegiatan seni musik di Dunia Arab. Perkembangan yang meng agumkan itu dimungkinkan setelah orang Arab mempelajari seni musik Persia dan Yunani. Perkembangan seni musik mencapai puncaknya pada zaman Abbasiyah (650-1256 M). Ibu kota kekhalifa h an Abbasiyah , Baghdad , ketika itu tampil s